Uncategorized

Uncategorized

Apakah Kamu Punya Savior Complex? Saatnya Berhenti Jadi Pahlawan untuk Semua Orang!

Pernah nggak sih kamu ngerasa harus selalu jadi penyelamat dalam hidup orang lain? Selalu siap pasang badan buat mereka, bahkan kalau itu berarti kamu sendiri kelelahan? Kalau iya, bisa jadi kamu mengalami savior complex, yaitu sebuah pola di mana seseorang merasa harus selalu membantu dan bertanggung jawab atas kebahagiaan orang lain, bahkan sampai mengorbankan dirinya sendiri. Alih-alih tanda tanda kebaikan hati yang luar biasa, hal ini justru bisa jadi red flag untuk kesehatan mentalmu. Beberapa tanda savior complex yang sering muncul di antaranya adalah merasa harga dirimu bergantung pada seberapa banyak kamu bisa membantu orang lain, kesulitan menolak permintaan bantuan, selalu ingin ‘menyelamatkan’ orang yang punya banyak masalah, kecewa atau marah kalau bantuanmu nggak dihargai, sampai terlalu sering melindungi orang lain dari konsekuensi tindakannya. Biasanya, ini bisa berakar dari pola asuh yang membuatmu terbiasa mengambil tanggung jawab lebih besar sejak kecil, trauma masa lalu, atau keinginan kuat untuk mendapat validasi dan merasa dibutuhkan. Dampaknya? Kamu bisa mengalami burnout, stres, dan kelelahan emosional. Hubungan dengan orang lain pun bisa jadi nggak sehat, karena kamu terus memberi tanpa mendapat timbal balik yang seimbang. Akhirnya, kamu bisa kehilangan identitas diri karena terlalu fokus pada kehidupan orang lain. Kalau kamu mulai merasa relate, ini saatnya untuk berubah. Kabar baiknya, kamu bisa mulai mengatasi ini dengan belajar menetapkan batasan. Ingat, membantu orang lain itu baik, tetapi bukan tugasmu untuk menyelesaikan semua masalah mereka. Coba pelan-pelan belajar berkata “nggak” tanpa harus merasa bersalah. Mulai prioritaskan dirimu sendiri, cari kesenangan di luar peran sebagai ‘penyelamat,’ dan sadari bahwa setiap orang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Pada akhirnya, menyayangi diri sendiri sama pentingnya dengan menyayangi orang lain. Jadi, siap berhenti jadi pahlawan untuk semua orang dan mulai fokus ke diri sendiri?

Uncategorized

Avoidant Attachment Style: Kenapa Kamu Selalu Butuh untuk Menjaga Jarak?

Pernah nggak sih, kamu merasa nyaman dalam hubungan, tapi begitu mulai dekat secara emosional, malah ingin menjauh? Atau kamu lebih suka mengandalkan diri sendiri daripada bergantung pada orang lain? Kalau iya, bisa jadi kamu punya avoidant attachment style, yaitu pola keterikatan menghindar yang bikin kamu sulit merasa aman dalam hubungan dekat. Biasanya, ini terbentuk sejak kecil, terutama kalau kamu tumbuh di lingkungan yang kurang responsif secara emosional. Orang dengan avoidant attachment sering terlihat mandiri dan nggak terlalu butuh hubungan yang dalam. Tapi di balik itu, ada ketakutan untuk terbuka dan merasa rentan. Misalnya, saat pasangan mulai menunjukkan perhatian lebih, kamu malah merasa risih dan menarik diri. Padahal, sebenarnya ini bukan soal nggak butuh orang lain, tapi lebih ke kebiasaan menekan emosi supaya nggak merasa kecewa. Kabar baiknya, pola ini bisa diubah. Mulailah dengan jujur pada diri sendiri—apakah kamu benar-benar nyaman sendiri atau sebenarnya takut terluka? Latih diri untuk lebih terbuka dalam komunikasi dan izinkan diri merasakan emosi tanpa harus langsung menghindar. Nggak ada yang salah dengan punya batasan, tapi hubungan yang sehat tetap butuh keseimbangan antara kemandirian dan kedekatan. Pada akhirnya, manusia memang butuh koneksi. Menjadi mandiri itu bagus, tapi bukan berarti kamu harus selalu menjaga jarak. Dengan memahami avoidant attachment, kamu bisa membangun hubungan yang lebih sehat, di mana kamu tetap punya ruang sendiri tanpa harus kehilangan kedekatan yang bermakna.

Uncategorized

Perfeksionisme: Ketika Standar Tinggi Berubah Menjadi Beban Berat

Pernahkah kamu merasa tidak gak cukup baik meskipun sudah melakukan yang terbaik? Atau menunda-nunda sesuatu karena takut hasilnya nggak sempurna? Kalau iya, bisa jadi kamu punya kecenderungan perfeksionisme. Banyak orang menganggap perfeksionisme sebagai hal positif,yaitu bukti bahwa kamu punya standar tinggi dan selalu berusaha maksimal. Padahal, kalau berlebihan, perfeksionisme justru bisa membuat kamu overthinking, mudah stres, dan sulit menikmati hasil kerja kerasmu sendiri. Secara psikologis, perfeksionisme adalah dorongan untuk menetapkan standar yang sangat tinggi dengan toleransi yang rendah terhadap kesalahan. Bukannya termotivasi, kamu justru lebih sering merasa cemas dan takut gagal. Perfeksionisme juga bisa membuatmu menghindari tantangan karena takut tidak bisa memenuhi ekspektasi sendiri atau orang lain. Misalnya, menunda mengirim tugas karena terus merasa ada yang kurang, atau menghabiskan waktu berjam-jam mengedit foto sebelum diunggah ke media sosial karena takut akan penilaian orang lain. Perfeksionisme biasanya berakar dari pengalaman masa kecil, seperti didikan orang tua yang sangat kritis atau lingkungan yang penuh tekanan. Kalau sejak kecil kamu sering dikritik atau hanya diapresiasi saat mencapai sesuatu yang luar biasa, tanpa sadar kamu bisa tumbuh dengan pola pikir bahwa nilai dirimu hanya bergantung pada pencapaianmu. Akibatnya, kamu cenderung terlalu keras pada diri sendiri dan sulit merasa puas. Lalu, bagaimana cara untuk berdamai dengan perfeksionisme? Pertama, coba lakukan sesuatu tanpa terlalu terpaku pada hasil akhir, fokuslah pada proses dan izinkan dirimu untuk membuat kesalahan. Kedua, latih diri untuk berhenti sejenak dan sadari bahwa nggak ada manusia yang sempurna. Terakhir, biasakan mencatat pencapaian kecilmu setiap hari. Jangan hanya berfokus pada hal yang belum kamu lakukan, tetapi juga apresiasi usaha yang sudah kamu lakukan. Hidup bukan soal sempurna atau tidaknya, tetappi soal bagaimana kamu belajar dan berkembang dari setiap proses yang kamu jalani.

Uncategorized

Ketika Pelukan Orang Tua Menjadi Kunci Bahagiamu Sekarang

Pernahkah kamu merasa seperti ada lubang kecil yang tak terlihat dan terus-menerus kamu rasakan? Entah itu dalam bentuk overthinking, merasa mudah cemas, atau sulit sekali merasa cukup dan disayang. Bisa jadi, itu bukan karena kamu lemah. Bisa jadi, itu jejak dari hal yang tak terlihat ketika kamu kecil: kurangnya afeksi dari orang tua. Bagi sebagian dari kita, berbicara soal hubungan dengan orang tua itu sensitif. Ada yang merasa dekat dan penuh dukungan, tapi tidak sedikit juga yang merasa jauh, dingin, atau bahkan sering dapat kritikan. Tetapi, penting banget buat tahu bahwa pelukan hangat, kata-kata lembut, atau sekadar sentuhan penuh kasih waktu kecil ternyata berdampak jauh sampai kita dewasa. Penelitian menunjukkan, anak-anak yang dibesarkan dengan kehangatan dan afeksi dari orang tua cenderung tumbuh jadi orang dewasa yang lebih bahagia, lebih percaya diri, dan lebih tahan banting secara emosional. Sebaliknya, kurangnya afeksi dapat membuat kita tumbuh menjadi pribadi yang gampang cemas, sulit percaya orang lain, atau merasa harus selalu jadi yang “sempurna” agar dapat diterima. Misalnya, kamu terus-menerus merasa harus punya pencapaian supaya dianggap berharga. Atau kamu kurang nyaman ketika menerima pujian karena bahkan dalam hati kamu sendiri, kamu belum yakin kamu pantas. Hal-hal seperti ini kerap kali mempunyai akar dari pengalaman emosional kita di masa kecil. Tetapi tenang, ini bukan tentang menyalahkan orang tua. Banyak dari mereka juga tumbuh dalam situasi yang serba sulit dan tidak pernah diajarkan cara mengekspresikan kasih sayang. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita bisa sadar, menerima, dan mulai menyembuhkan bagian dari diri kita yang memerlukan kasih sayang. Bahkan hal sederhana yang dilakukan dengan seperti merangkul teman, memeluk diri sendiri, atau mengapresiasi orang lain bisa menjadi awal dari proses penyembuhan. Faktanya, pelukan, sentuhan, dan kata-kata hangat bukan hanya membuat nyaman sesaat. Mereka bisa mengaktifkan hormon seperti oksitosin yang dapat membuat kita merasa aman dan terkoneksi. Tidak heran heran apabila anak-anak yang sering dipeluk dan disentuh dengan penuh kasih tumbuh menjadi pribadi yang lebih hangat dan mempunyai empati tinggi. Dan berita baiknya, kamu tetap bisa merasakan efek positif ini, bahkan kalau kamu baru memulai sekarang. Jadi, kalau belakangan kamu sering merasa hampa atau tidak yakin dengan diri sendiri, mungkin itu bukan karena kamu yang terlalu sensitif, tapi karena ada kebutuhan emosional yang dulu tidak terpenuhi. Kabar baiknya adalah sekarang kamu bisa mulai belajar memberikan itu ke diri sendiri. Nggak harus langsung besar. Bisa dimulai dari hal sederhana: belajar memeluk diri sendiri saat sedang lelah, atau mulai membiasakan diri menunjukkan afeksi ke orang-orang terdekat. Karena bentuk kasih sayang yang mungkin dulu kurang, bisa kamu rawat kembali secara pelan-pelan dan dari kamu sendiri.

Uncategorized

Ketika Sendiri Bukan Berarti Sepi

Pernah nggak sih kamu merasa lelah, tapi bukan karena aktivitas fisik? Di satu hari di mana kamu nggak melakukan sesuatu hal yang berat, tetapi ada rasa lelah yang datangnya tiba-tiba. Rasanya seperti ramai di luar, tapi hampa di dalam. Banyak orang bilang itu tanda kamu butuh istirahat. Tapi terkadang, bukan cuma tidur yang bisa menyembuhkan, kadang kamu cuma butuh waktu untuk sendiri. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang nggak pernah berhenti, punya momen buat diri sendiri menjadi hal yang langka. Kita terus terhubung dengan banyak hal: sosial media yang nggak ada hentinya, jadwal yang padat, opini orang, dan ekspektasi yang nggak kelar-kelar. Tanpa sadar, kita jadi jauh dari satu hal paling penting yang kerapkali tidak kita sadari, yaitu diri sendiri. Padahal, waktu sendiri bukan suatu hal yang harus dihindari. Justru di situlah kita bisa berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan mendengarkan suara hati yang sering kita abaikan. Nggak harus ngapa-ngapain. Cukup berdiam diri, refleksi, atau sekadar duduk santai sambil mendengarkan lagu favorit dan menikmati waktu saat ini. Momen seperti ini bisa menjadi titik balik untuk kita lebih mengenali siapa diri kita yang sebenarnya. Sendiri kerapkali disalahartikan sebagai kesepian. Terkadang, sendiri adalah bentuk self-love yang paling tulus. Tempat untuk pulih, berpikir jernih, dan menyadari bahwa kita nggak harus selalu sibuk untuk merasa berarti. Karena ketika kita nyaman dengan diri sendiri, dunia luar menjadi terasa lebih ringan, bermakna, dan membahagiakan hati.

Uncategorized

Autonomi: Kunci Supaya Hidup Nggak Diatur Ekspektasi Orang

Pernah nggak sih kamu merasa hidup seperti dikendalikan orang lain? Misalnya, ketika kamu kuliah di jurusan pilihan orang tua, atau kerja di tempat yang bikin kamu burnout tiap hari. Nah, itu tandanya kamu belum punya autonomi, yaitu kemampuan untuk ngambil keputusan sendiri, sesuai apa yang kamu butuhkan dan kamu yakini. Padahal, autonomi ini penting banget biar hidup kita terasa “milik kita” sendiri. Autonomi bikin kita lebih semangat karena kita melakukan sesuatu dari kemauan sendiri, bukan karena disuruh atau takut di-judge. Contohnya, ketika kita ikut gym karena kita ingin menjadi sehat dan bugar, bukan karena biar kelihatan keren di story. Hal-hal kayak gini bikin kita lebih konsisten, lebih puas, dan lebih bahagia ngejalanin hari-hari. Intinya, makin kita merasa punya kontrol atas pilihan sendiri, makin stabil juga kesehatan mental kita. Sebaliknya, kalau autonomi kita minim, kita bisa rentan stres, minder, bahkan ngerasa hampa. Kitajadi sering bingung ambil keputusan, takut salah, dan terlalu mikirin omongan orang. Misalnya, ketika kita mengiyakan semua ajakan nongkrong padahal badan membutuhkan istirahat, cuma karena takut dianggap nggak asik. Ini bikin kita capek secara fisik dan emosional. Tapi tenang, autonomi bisa dilatih. Mulai dari hal kecil kayak memilih sesuatu tanpa nanya pendapat orang, atau bilang “nggak” waktu diajak melakukan hal yang nggak sesuai sama diri kita. Kenali apa yang kita suka, nilai apa yang penting bagi kita, dan pelan-pelan ambil keputusan berdasarkan nilai-nilai itu. Cari juga lingkungan yang menghargai pilihan kita, bukan yang maksa kita untuk menjadi versi mereka. Autonomi bukan berarti kita menjadi egois. Ini tentang jadi diri kita sendiri tanpa harus menyenangkan semua orang. Jadi, kalau kita pingin hidup yang lebih memuaskan, coba deh mulai kasih ruang buat diri kita bikin keputusan. Karena hidup yang kita pilih sendiri, akan terasa jauh lebih bermakna!

Uncategorized

Productivity Guilt: Ketika Istirahat Bikin Kamu Merasa Bersalah

Pernah merasa bersalah saat lagi istirahat, padahal sebenarnya kamu butuh waktu jeda sejenak? Rasa bersalah ini sering disebut dengan productivity guilt, yaitu perasaan nggak nyaman karena merasa harus terus produktif. Masalahnya, kita hidup di tengah budaya yang seolah-olah meromantisasi kesibukan. Istirahat dianggap malas, dan waktu kosong terasa sia-sia. Dalam psikologi, ada istilah achievement identity fusion. Fenomena ini terjadi saat identitas diri kita terlalu melekat pada pencapaian. Akibatnya, saat nggak ngapa-ngapain, kita merasa seperti kehilangan arah. Padahal kita hanyalah istirahat, bukan berhenti menjadi orang yang bernilai. Media sosial turut memperkuat pola pikir ini. Setiap kali kita scroll konten yang mempertontonkan hustle culture, seperti orang-orang yang bangun pagi, kerja terus, dan posting hasil kerja mereka, otak kita secara nggak sadar melakukan achievement calibration. Artinya, standar kita tentang “cukup produktif” ikut berubah. Yang tadinya udah puas mengerjakan dua hal dalam sehari, sekarang rasanya kurang karena lihat orang lain bisa mengerjakan lima. Studi dari UCLA bahkan menunjukkan bahwa hanya 15 menit melihat konten produktivitas bisa meningkatkan kadar stres (kortisol) sampai 37%, menurunkan kepuasan diri, dan bikin kita merasa waktu terus habis ketika kenyataannya nggak seburuk itu. Akhirnya kita terjebak dalam siklus kerja-capek-istirahat sebentar-merasa bersalah-kerja lagi. Padahal, istirahat merupakan hal yang penting. Tubuh dan pikiran kita didesain untuk membutuhkan jeda. Tapi karena kita terbiasa mengukur nilai diri dari apa yang dihasilkan, jadi susah banget buat benar-benar berhenti tanpa merasa gagal. Kabar baiknya, kita bisa mulai mengubah pola ini. Pertama, kita perlu menyadari dulu kalau istirahat bukan kelemahan. Nggak ngapa-ngapain kadang justru jadi momen recharge kita dibutuhkan. Kedua, coba lebih bijak dengan konten yang dikonsumsi. Kurangi paparan konten hustle, dan isi timeline dengan hal-hal yang lebih seimbang. Yang paling penting: kamu tetap berharga meski nggak produktif di setiap waktu. Ingat ya bahwa nilai diri nggak ditentukan dari seberapa sibuk kamu hari ini!

Uncategorized

Fokusmu Cepat Buyar? Bisa Jadi Kamu Terlalu Sering “Context Switching”!

Pernah nggak kamu lagi ngerjain tugas kuliah, tiba-tiba scroll TikTok sebentar, terus kepikiran chat yang belum dibalas, eh jadi buka WA. Nggak terasa sejam berlalu dan tugas belum kunjung selesai. Hal ini bukan semata-mata soal “mager“, tapi bisa jadi kamu terbiasa melakukan context switching. Context switching merupakan kondisi saat otak kita melompat-lompat dari satu tugas ke tugas lain, dan sayangnya, hal ini bikin otak jadi capek lebih lelah daripada yang kita sadari. Banyak orang berpikir multitasking itu keren. Misalnya, bisa dengerin Zoom meeting sambil balas email, terus sekalian update story. Padahal, faktanya otak manusia nggak dirancang buat ngerjain banyak hal sekaligus. Yang sebenarnya terjadi? Otak kita cuma bolak-balik berganti fokus, dan setiap kali ganti, butuh waktu untuk otak kita melakukan pemanasan ulang. Jadi bukannya makin cepat selesai, yang ada malah kita jadi makin lambat dan gampang lelah. Efek dari context switching ini bukan cuma capek mental, tapi juga bisa bikin kita salah ambil keputusan, lupa detail penting, bahkan jadi gampang cemas. Bayangkan otak kita seperti RAM di laptop yang kalau kebanyakan tab dibuka, semua jadi lemot. Nah, context switching itu mirip seperti buka-tutup tab terus-menerus tanpa benar-benar fokus di satu tab aja. Kenapa ada orang yang kelihatan bisa multitasking terus tapi tetap santai? Jawabannya: tiap orang beda-beda. Ada yang memang lebih fleksibel secara kognitif, ada juga yang terbiasa karena lingkungan kerja atau kuliahnya. Tapi tetap aja, semakin sering kita switch task tanpa jeda, makin besar risiko burn out-nya!. Apalagi kalau lingkungan kita penuh distraksi, seperti notifikasi HP, tab browser numpuk, atau ruang kerja yang nggak kondusif. Gimana cara mengatasinya? Coba deh mulai dari yang simpel seperti time-blocking alias alokasi waktu khusus buat ngerjain satu jenis tugas aja dalam satu waktu. Hindari buka HP pas lagi deep work. Bikin daftar prioritas, dan latih diri buat mindful saat kerja di mana kita fokus ke satu tugas dulu sebelum berpindah ke tugas yang lain. Kalau perlu, set waktu khusus buat balas chat atau cek medsos biar nggak mengganggu fokus utama kita. Hidup emang nggak bisa selalu rapi dan teratur, tapi bukan berarti kita harus terus-menerus “menyiksa” otak kita dengan bekerja secara reaktif dan acak-acakan. Dengan memahami bagaimana cara otka kita bekerja dalam kondisi context switching, kita bisa mulai ambil kendali lagi. Fokus merupakan hal yang membutuhkan strategi. Dan terkadang, less is more. Dengan mengerjakan lebih sedikit, hasilnya justru lebih banyak.

Uncategorized

Sibuk Cari Validasi, Tapi Lupa Cari Diri Sendiri?

Pernah nggak sih, kamu upload story atau post sesuatu, terus rasanya gelisah banget nungguin likes, views, atau komen? Rasanya, kalau nggak ada yang respons, kita jadi mikir, “Apa aku nggak cukup menarik ya?” atau “Apa pendapatku salah?” Kalau iya, kamu nggak sendirian. Banyak dari kita, tumbuh di dunia yang serba cepat dan penuh ekspektasi sosial, baik dari orang sekitar, maupun dari notifikasi di sosial media. Kita semua suka divalidasi. Tapi gimana kalau ternyata, tanpa sadar, kita jadi terlalu bergantung sama validasi dari luar? Validasi adalah hal yang manusiawi. Waktu kecil aja, kita refleks mencari tatapan bangga dari orang tua setiap kali berhasil melakukan sesuatu. Namun, masalah muncul ketika satu-satunya standar buat menilai diri kita bergantung hanya validasi dari luar. Kalau nggak ada pujian, kita ngerasa gagal. Kalau nggak ada yang bilang kita keren, kita jadi ngeraguin diri sendiri. Padahal, validasi yang paling penting sebenarnya datang dari kita sendiri, yaitu self-validation. Fenomena ini makin kentara sejak sosial media menjadi bagian sentral dari hidup kita. Sekarang, satu klik “like” bisa menjadi penentu mood seharian. Kita jadi gampang ke-trigger sama angka dan respons digital, padahal realitanya, nggak semua yang dapet banyak likes itu bahagia, dan nggak semua yang jarang upload itu nggak percaya diri. Kadang kita lupa, bahwa sosial media bukan cermin dari harga diri kita. Kalau kamu ngerasa capek terus-terusan karena ngejar pengakuan orang lain, mungkin saatnya kamu berhenti sejenak. Coba tanya ke diri sendiri: “Kenapa aku butuh banget pengakuan ini? Apa aku udah cukup percaya sama diriku sendiri?” Kamu juga bisa mulai dari langkah kecil seperti journaling, mengurangi waktu scrolling, atau menghargai pencapaian pribadi tanpa harus semua orang mengetahuinya. Pelan-pelan, kamu akan sadar, bahwa kamu valid dan berharga bahkan tanpa pengakuan dari luar. Ingat, validasi itu bukan musuh. Tapi kalau kamu terus hidup buat nyari pengakuan orang lain, kapan kamu punya waktu buat kenal dan terima dirimu sendiri? 

Uncategorized

Mengapa Manusia Sering Menghindari Emosi Tidak Nyaman?

Pernahkah kamu merasa cemas, malu, atau bahkan merasa ingin “kabur” dari perasaan kurang nyaman yang tiba-tiba muncul? Menghindari sesuatu yang memicu perasaan nggak nyaman itu wajar kok kalau dilakukan dalam batas yang sehat. Tapi, kalau hal ini udah jadi kebiasaan yang sampai bikin kamu jadi nggak bisa berfungsi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari, kamu mungkin mengalami apa yang disebut dengan emotional avoidance alias menghindari emosi. Ada beberapa cara kita menghindari perasaan, seperti total avoidance, misalnya menghindari acara sosial karena takut cemas atau malu, subtle avoidance, di mana kamu hadir tapi nggak sepenuhnya terlibat, atau safety signals, seperti selalu membawa benda atau orang tertentu yang bikin kamu merasa aman. Sering juga kita terjebak dalam worry, yaitu perasaan khawatir berlebihan yang justru nggak menyelesaikan masalah dan malah menambah kecemasan. Menghindari emosi memang memberi rasa lega sesaat, tapi kalau dilakukan secara terus-terusan, kita malah nggak bisa belajar menghadapi dan mengelola emosi dengan cara yang sehat. Nah, ada beberapa cara coping sehat yang bisa kita coba, seperti menghadapi emosi secara langsung, yaitu memberi ruang untuk merasa cemas atau takut tanpa langsung menghindar. Lalu, relaksasi, seperti latihan pernapasan atau meditasi bisa membantu menenangkan diri. Mindfulness juga bisa sangat berguna untuk kita belajar menerima perasaan tanpa menghakimi, serta journaling untuk mengekspresikan apa yang kita rasakan secara lebih terstruktur. Daripada terus menghindar, cobalah untuk pelan-pelan menghadapi perasaan tersebut dengan cara yang lebih sehat. Kamu bisa mulai dengan langkah kecil dan rasakan perbedaannya!

Scroll to Top